Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah barang tentu al-Asy’ari berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari Tuhan mengetahui
dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan
Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (’Ilm), tetapi
yang mengetahui (’Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan
pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat
seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.[1] Secara
filosofis ia berpendapat bahwa nama (ism) bukanlah nama yang dinamai
(musamma). Sifat bukanlah yang disifati (maushuf), sifat bukanlah dzat.
Sifat-sifat Tuhan adalah nama-nama (asma)-Nya. Tetapi, nama-nama itu
bukanlah Tuhan dan bukan pula selain-Nya. Ungkapan al-Asy’ari ini
terkesan sebagai reaksi terhadap Mu’tazilah yang meniadakan sifat-sifat
Allah (nafy al-shifat) [2] Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai
sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti Allah
mengetahui dengan ’Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan
seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azali. Sifat-sifat itu bukanlah
Zat Tuhan bukan pula lain dari Zat-Nya.[
Al-Asy’ari di dalam Maqalat
al-Islamiyyin juga di dalam Al-Ibanah secara panjang lebar menguraikan
permasalahan sifat dan af’al Tuhan yang menjadi bahan pembicaraan ulama
Mutakallimin, kemudian pendapatnya tentang sifat dan zat bisa
disimpulkan sebagai : لا هى هو٬ولاهى غيره ”Sifat itu bukan zat, dan
sifat itu tak lepas dari zat” Dalam masalah sifat dan zat ini,
Al-Asy’ari sependapat dengan Abdullah bin Kullab yang berpendapat معنى
ان الله عالم ان له علما و معنى انه قادران له قدرةو معنىانه حي ان له
حياة....ان اسماءاللهوصفاته لذاته لاهى اللله و لاهى غيره وانها قا ﺌمة
”Pengertian Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi
Allah....... ”Sesungguhnya, asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada
zat-Nya. Sifat dan asma itu bukan Allah (bukan zat, menurut konsep
al-Asy’ari) namun sifat dan asma itu juga tidak lepas dari Allah bukan
sesuatu yang lain yang berada di luar Allah”.[4] Dalam rumusan-rumusan
tersebut, al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukan
sesuatu yang inheren ada di dalam zat. Rumusan yang diberikan oleh
al-Asy’ari membuat kita bisa mengibaratkannya dengan seorang laki-laki,
katakanlah si A. Wujud si A hanya satu, si A itu sendiri, tetapi ia
memiliki sifat-sifat dan juga perbuatan-perbuatan, akan tetapi
sifat-sifat itu tidak merupakan sesuatu yang berdiri sendiri diluar
wujud si A, melainkan merupakan sesuatu yang melekat pada diri si A.
Tetapi sifat itu bukanlah sebagai wujud si A. Pengkiyasan semacam ini
tidak bisa diartikan sebagai mempersamakan Tuhan dengan manusia,
melainkan harus dipahami sebagai suatu metode yang agak dekat bisa
diterima secara rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan.
Kemudian Imam al-Sanusi salah seorang penerus Al-Asy’ari melakukan
klasifikasi sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakannya dalam kitabnya,
Ummu-Ibarahin dengan klasifikasiYaitu, Sifat nafsiyyah, Sifat salbiyyah,
Sifat ma’ani dan Sifat ma’nawiyyah .[6] Sifat nafsiyyah, yakni sifat
untuk menegaskan adanya Allah SWT, dimana Allah SWT menjadi tidak ada
tanpa adanya sifat tersebut. Yang tergolong sifat ini hanya satu, yakni
sifat wujud. Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang digunakan untuk
meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi Allah SWT. Sifat salbiyyah ini
ada 5 sifat, yakni : 1) Qidam, 2) Baqo’, 3) Mukhalafatu lil hawaditsi,
4) Qiyamuhu binafsihi, dan 5) Wahdaniyyah Sifat ma’ani, adalah sifat
yang pasti ada pada Dzat Allah awt. Terdiri dari tujuh sifat, yakni : 1)
Qudrat, 2) Iradah, 3) Ilmu, 4) hayat, 5) Sama’,6) Bashar dan 7) Kalam
Sifat ma’nawiyyah, adalah sifat yang mulazimah (menjadi akibat) dari
sifat ma’ani, yakni : 1) Qodiran, 2) Muridan, 3) Aliman, 4) Hayyan, 5)
Sami’an,6) Bashiran dan 7) Mutakalliman[7] Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak
membatasi sifat-sifat Allah menjadi dua puluh sifat. Ahlussunnah Wal
Jama’ah menetapkan sifat dua puluh karena sifat dua puluh itu adalah
sifat Dzat Allah yang menjadi syarat ketuhanan (syarthul uluhiyyah).
Sedangkan sifat-sifat Allah yang lain adalah shifat af’al (sifat yang
berkaitan dengan perbuatan) Allah. Dan shifat al-afal Allah itu
jumlahnya banyak serta tidak terbatas
Minggu, 27 Desember 2015
PINTU TAUBAT MASIH TERBUKA
Dalam hidup ini, ada orang yang merasa berputus asa dari mengharap rahmat dan ampunan Allah swt karena merasa dirinya sudah terlanjur bergelimang dosa. Tak jarang karena putus asa itu, seorang lebih memilih untuk terus menenggelamkan diri dalam berbagai perbuatan dosa dan maksiat,karena menurutnya bertaubatpun percuma. Allah tidak mungkin melimpahkan ampunan kepada dirinya yang mempunyai dosa setingi gunung dan sedalam lautan. Ini jelas anggapan dan pemikiran yang salah.
Manusia hendaklah tidak berfikir senaif itu. Pesimisme terhadap rahmat dan ampunan Allah jelas merupakan sifat tercela, sifat itu hanya pantas berada pada diri orang yang sesat dan kafir. Orang yang ada dalam dirinya masih bersemayam iman kepada Allah, harus senantiasa bersikap optimis untuk mengharapkan ampunan-Nya. Allah berfirmna dalam Surah Az-Zumar ayat 53 :
Artinya :
"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Az-Zumar : 53).
Manusia hendaklah tidak berfikir senaif itu. Pesimisme terhadap rahmat dan ampunan Allah jelas merupakan sifat tercela, sifat itu hanya pantas berada pada diri orang yang sesat dan kafir. Orang yang ada dalam dirinya masih bersemayam iman kepada Allah, harus senantiasa bersikap optimis untuk mengharapkan ampunan-Nya. Allah berfirmna dalam Surah Az-Zumar ayat 53 :
Artinya :
"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Az-Zumar : 53).
Langganan:
Postingan (Atom)