Minggu, 27 Desember 2015

SIFAT TUHAN MENURUT PANDANGAN ASY"ARIYAH

Sebagai penentang Mu’tazilah, sudah barang tentu al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kata Al-Asy’ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan bukan pengetahuan (’Ilm), tetapi yang mengetahui (’Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian pula dengan sifat-sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.[1] Secara filosofis ia berpendapat bahwa nama (ism) bukanlah nama yang dinamai (musamma). Sifat bukanlah yang disifati (maushuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Tuhan adalah nama-nama (asma)-Nya. Tetapi, nama-nama itu bukanlah Tuhan dan bukan pula selain-Nya. Ungkapan al-Asy’ari ini terkesan sebagai reaksi terhadap Mu’tazilah yang meniadakan sifat-sifat Allah (nafy al-shifat) [2] Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan ’Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayah dan seterusnya. Sifat-sifat tersebut adalah azali. Sifat-sifat itu bukanlah Zat Tuhan bukan pula lain dari Zat-Nya.[

Al-Asy’ari di dalam Maqalat al-Islamiyyin juga di dalam Al-Ibanah secara panjang lebar menguraikan permasalahan sifat dan af’al Tuhan yang menjadi bahan pembicaraan ulama Mutakallimin, kemudian pendapatnya tentang sifat dan zat bisa disimpulkan sebagai : لا هى هو٬ولاهى غيره ”Sifat itu bukan zat, dan sifat itu tak lepas dari zat” Dalam masalah sifat dan zat ini, Al-Asy’ari sependapat dengan Abdullah bin Kullab yang berpendapat معنى ان الله عالم ان له علما و معنى انه قادران له قدرةو معنىانه حي ان له حياة....ان اسماءاللهوصفاته لذاته لاهى اللله و لاهى غيره وانها قا ﺌمة ”Pengertian Allah itu zat yang mengetahui adalah bahwa ilmu itu ada bagi Allah....... ”Sesungguhnya, asma dan sifat-sifat Allah itu ada pada zat-Nya. Sifat dan asma itu bukan Allah (bukan zat, menurut konsep al-Asy’ari) namun sifat dan asma itu juga tidak lepas dari Allah bukan sesuatu yang lain yang berada di luar Allah”.[4] Dalam rumusan-rumusan tersebut, al-Asy’ari menjelaskan bahwa sifat-sifat Tuhan itu bukan sesuatu yang inheren ada di dalam zat. Rumusan yang diberikan oleh al-Asy’ari membuat kita bisa mengibaratkannya dengan seorang laki-laki, katakanlah si A. Wujud si A hanya satu, si A itu sendiri, tetapi ia memiliki sifat-sifat dan juga perbuatan-perbuatan, akan tetapi sifat-sifat itu tidak merupakan sesuatu yang berdiri sendiri diluar wujud si A, melainkan merupakan sesuatu yang melekat pada diri si A. Tetapi sifat itu bukanlah sebagai wujud si A. Pengkiyasan semacam ini tidak bisa diartikan sebagai mempersamakan Tuhan dengan manusia, melainkan harus dipahami sebagai suatu metode yang agak dekat bisa diterima secara rasio dalam menjelaskan tentang sifat dan zat Tuhan.

 Kemudian Imam al-Sanusi salah seorang penerus Al-Asy’ari melakukan klasifikasi sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakannya dalam kitabnya, Ummu-Ibarahin dengan klasifikasiYaitu, Sifat nafsiyyah, Sifat salbiyyah, Sifat ma’ani dan Sifat ma’nawiyyah .[6] Sifat nafsiyyah, yakni sifat untuk menegaskan adanya Allah SWT, dimana Allah SWT menjadi tidak ada tanpa adanya sifat tersebut. Yang tergolong sifat ini hanya satu, yakni sifat wujud. Sifat salbiyyah, yaitu sifat yang digunakan untuk meniadakan sesuatu yang tidak layak bagi Allah SWT. Sifat salbiyyah ini ada 5 sifat, yakni : 1) Qidam, 2) Baqo’, 3) Mukhalafatu lil hawaditsi, 4) Qiyamuhu binafsihi, dan 5) Wahdaniyyah Sifat ma’ani, adalah sifat yang pasti ada pada Dzat Allah awt. Terdiri dari tujuh sifat, yakni : 1) Qudrat, 2) Iradah, 3) Ilmu, 4) hayat, 5) Sama’,6) Bashar dan 7) Kalam Sifat ma’nawiyyah, adalah sifat yang mulazimah (menjadi akibat) dari sifat ma’ani, yakni : 1) Qodiran, 2) Muridan, 3) Aliman, 4) Hayyan, 5) Sami’an,6) Bashiran dan 7) Mutakalliman[7] Ahlussunnah Wal Jama’ah tidak membatasi sifat-sifat Allah menjadi dua puluh sifat. Ahlussunnah Wal Jama’ah menetapkan sifat dua puluh karena sifat dua puluh itu adalah sifat Dzat Allah yang menjadi syarat ketuhanan (syarthul uluhiyyah). Sedangkan sifat-sifat Allah yang lain adalah shifat af’al (sifat yang berkaitan dengan perbuatan) Allah. Dan shifat al-afal Allah itu jumlahnya banyak serta tidak terbatas

PINTU TAUBAT MASIH TERBUKA

Dalam hidup ini, ada orang yang merasa berputus asa dari mengharap rahmat dan ampunan Allah swt karena merasa dirinya sudah terlanjur bergelimang dosa. Tak jarang karena putus asa itu, seorang lebih memilih untuk terus menenggelamkan diri dalam berbagai perbuatan dosa dan maksiat,karena menurutnya bertaubatpun percuma. Allah tidak mungkin melimpahkan ampunan kepada dirinya yang mempunyai dosa setingi gunung dan sedalam lautan. Ini jelas anggapan dan pemikiran yang salah.

Manusia hendaklah tidak berfikir senaif itu. Pesimisme terhadap rahmat dan ampunan Allah jelas merupakan sifat tercela, sifat itu hanya pantas  berada pada diri orang yang sesat dan kafir. Orang yang ada dalam dirinya masih bersemayam iman kepada Allah, harus senantiasa bersikap optimis untuk mengharapkan ampunan-Nya. Allah berfirmna dalam Surah Az-Zumar ayat 53 :
Artinya :
"Katakanlah: "Hai hamba-hambaKu yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS. Az-Zumar : 53).